RAMALAN KELOMPOK ROMA:
KRISIS PANGAN MELANDA ASIA SELATAN DAN AFRIKA TERBUKTI
Kelompok Roma dengan
laporannya yang spektakuler: "The Limits
to Grwoth", yang mensintesiskan planet Bumi akan hancur karena tidak
mampu mendukung kehidupan manusai yang berkembang secara eksponensial pada abad
mendatang. Dan tesis ini kemudian direvisi dengan membagi dunia menjadi 10
region, menyatakan bahwa region Afrika dan Asia Selatan bila keadaan terus
berlangsung seperti sekarang (saat laporan ditulis. 1975) kedua region itu akan
kekurangan pangan dan energi. Namun keadaan
itu sudah nyata pada akhir milinium
ke-2 ini, disebabkan oleh faktor krisis ekonomi yang melanda dunia. Di Afrika
dapat dicatat bahwa kelaparan melanda Ethiopia
dan Eritria, Somalia, lebih disebabkan oleh
krisis perang yang terus-menerus. Di Asia Selatan tampak nyata di India dan Indonesia. Di India (penduduknya
telah mencapai satu milyar dalam bulan Mei 2000) kelaparan melanda akibat
bencana kekeringan. Di Indonesia keadaan itu lebih disebabkan oleh krisis
ekonomi, di amana penganguran akibat PHK terjadi di mana-mana, akibatnya banyak
anak dan bayi kekurangnan gizi. Kompas mencatatnya
Hampir dua abad sudah berlalu sejak Malthus menerbitkan
risalahnya yang terkenal, di dalamnya diperdebatkan bahwa penduduk cenderung
tumbuh menurut deret ukur, sementara produksi pangan tumbuh menurut
derethitung. Malthus tentu salah, dalam
arti tidak disangka bahwa teknologi mampu meningkatkan produktivitas tanah amat
luar biasa. Sebaliknya Malthus benar ketika mengantipasi kesulitan dalam
memperluas produksi pangan secepat pertumbuhan penduduk. Saat ini kelaparan
menjadi perjuangan bagi pemerintah di banyak negara berkembang (miskin).
Ethiopia
sudah sejak lama pemerintahnya berjuang mengatasi kelaparan. Selama tahun 1984-1985
Ethiopia pernah dilanda bencana kelaparan, yang mengakibatkan sekitar 800.000
orang tewas. Pada saat ini bencana yang sama melanda Ethiopia. Kota Gode salah satu kota di Ethiopia, selama tiga bulan terakhir menjadi kota paling memilukan.
Setiap hari puluhan ribu pengungsi berdatangan. Para
pengungsi tiba di Gode setelah menempuh perjalanan berhari-hari dalam keadaan
lapar, sakit dan kelelahan. Kota yang dikenal
dengan Pusat Rehabilitasi Gizi terbesar di Ethiopia, sekarang menjadi tumpuan
hidup terakhir pengungsi di tengah meluasnya bencana kelaparan. Sangat ironis
jumlah pengungsi yang membutuhkan bantuan jauh lebih besar dibanding dengan
bantuan pangan yang tersedia. Di kota ini setiap
hari lebih dari lima
anak meninggal karena kurang gizi, infeksi saluran pernapasan, radang paru-paru
dan TBC[1].
Hal yang hampir sama terjadi di Indonesia, negeri tercinta, sebuah
negara tropis yang kaya dan subur, namun pemerintahannya paling korup di dunia.
Negara yang pernah dijuluki macan Asia dan presidennya pada tahun 1984 pernah
berpidato, mewakili negara berkembang lainnya, pada peringatan Hari Pangan
sedunia yang diselenggarakan Badan Pangan Dunia (FAO) di Roma, karena
prestasinya dalam berswasembada pangan.
Stephen J. Woodhouse, Kepala Perwakilan Unicef untuk Indonesia
dan Malaysia, mengatakan, bahwa setiap tahun di Indonesia lahir sebanyak
700.000 bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), akibat kekurangan gizi
sejak dalam kandungan. Ini artinya setiap hari ada 2.000 bayi bergizi kurang
atau buruk yang lahir, atau sekitar 100 bayi per jamnya[2].
Masalah ini jika tidak segera ditangani dengan memperhatikan kondisi kaum ibu
yang sedang hamil, maka dikhawatirkan akan makin banyak anak Indonesia yang terhambat tumbuh
kembangnya dan kurang cerdas.
Kalau penyebab utama kelaparan yang sudah berlangsung
bertahun-tahun di Ethiopia adalah perang berkepanjangan dengan tetangganya
Eritrea dan bencana kekeringan, di Indonesia yang menjadi kambing hitam adalah
krisis ekonomi yang berkepanjangan pada akhir milenium kedua ini. Pada waktu
sebelum krisis ekonomi belum pernah ada laporan kasus BBLR ini, namun belum
tentu demikian, karena pada pemerintahan waktu itu orang segan berkata tentang
ketidakberhasilan pemerintah.
Terlepas dari penyebab dan alasan tersebut, pemerintah Indonesia
yang baru mengakuinya bahwa, "Jumlah penduduk miskin makin membengkak, dan
derajat kesehatan masyarakat juga menurun drastis. Gejala itu bahkan menguat
dengan terdapatnya indikasi kasus-kasus kurang gizi di kalangan kelompok
penduduk usia bawah lima
tahun, yang dapat mengakibatkan timbulnya generasi yang kualitas fisik dan
inteleknya rendah"[3].
Dari kedua kasus yang terjadi di dua negara yang jauh
berbeda kalau ditelururi penyebab utamanya adalah sama yaitu kebijakan politik
pemerintah yang kurang benar. Pemerintahan masa lalu Indonesia yang otokratris,
menjadikan kebijakan yang sebenarnya salah tidak ada yang berani mengritik dan
menghentikannya. Birokrat cenderung melaporkan hal-hal positif saja pada
birokrat di atasnya begitu seterusnya sampai ke presiden, sehingga kebijakan
yang diambil sang presiden kurang tepat.
Akhirnya kedua kasus ini membuktikan bahwa ramalan
Kelompok Roma tentang terjadinya kehancuran region-region (terutama di negara
ketiga) menjadi kenyataan. Salah satu ramalan Kelompok Roma pada laporannya
yang kedua (Mankind at The Turning Point)
adalah: region Asia Selatan dan Tenggara, di mana Indonesia termasuk di
dalamnya, keadaannya akan menjadi sangat buruk dan penderitaaan manusia akan
sangat menyedihkan, kalau tidak diambil langkah-langkah masalah interaksi
kependudukan, pangan, dan energi untuk memperbaikinya dari saat itu (1974)[4].
Dengan pemerintahan yang baru, yang demokratis, masih ada secercah harapan
untuk memperbaikinya, menuju Indonesia
yang berjaya.
DaftAR BACAAN
Meadows,
Donella H. et al. 1980. Batas-batas
Pertumbuhan (The Limits to Growth) Jakarta: PT Gramedia
1. Daldjoeni,
N., 1987. Pokok-pokok Geografi Manusia.
Bandung: Alumni. Bab 4, halaman 35-45.
2. Robinson,
Harry. 1981. Population and Resources:
Fokal Problems in Geography. London: The MacMillan Press Ltd Bab 3 -4
[4]Mesarovic, Mihajlo & Eduard Pestel, Mankind at the Turning Point
(New York:
Reader's Digest Press), p. 75.
0 comments:
Post a Comment