9 Januari 2015. Pkl 01:15 (dini hari).
(Coretan Jelek tapi Asli)
Entah apa yang ada di dalam benak ku saat itu, angin dini hari yang hembuskan dingin pun tak menembus dada yang sedang sesak dengan perkelahian antara "iya dan tidak", dan masih saja mempertanyakan perbedaan "sepi dan gelap", terlebih ketika melihat sosok wajah berkumis dengan batik yang menutupi tubuhnya, kerutan garis lurus menempel di pipi,dengan mata lebar menatap ukiran papan kayu berwarna hitam dan putih. Ia sedang asyik menyaksikan pertunjukan pion pion kayu yang sedang menjaga sang raja yang hanya bisa diam demi sebuah nama yaitu kemenangan.
Aku yang hanya bisa melihat sosok tua itu semakin sesak nafas ini karena perkelahian antara "iya dan tidak" dalam dadaku tidak kunjung reda ketika melihat wajah tua itu tersenyum sepi di pukul 01.20 dinihari. Lewat 5 menit setelah itu, pria berkerut itu semakin melebarkan matanya ketika terlihat sekilas sebuah bom dari kayu berwarna hitam itu sejajar dengan raja yang putih. Iya benar.. Dia hanya seorang penonton dari dua orang yang sedang berperang melalui papan kayu, tapi sosok tua nya masih bisa melebarkan kedua matanya. Iya.. Itu hanya perang kayu dari dua orang dengan satu penonton, lantas aku justru terbenam dalam dada sesak ku yang semakin jelas mempertanyakan antara "iya dan tidak". Aku bukan penonton karena aku tak ikut menyaksikan perhelatan itu, pemainpun apalagi. 20 menit berlalu aku lewatkan dengan diam, sementara 20 menit dari pukul 01.20 itu mereka bertiga (2 pemain catur dan 1 penonton pria tua) melewatkannya dengan senyum sepi. Iya senyum sepi (aku menyebutnya) karena dalam seni bermain catur sangat jarang ada obrolan seperti bermain game sepakbola dengan teman seperti yang biasa aku mainkan.
30 menit setelah pukul 01.30 dengan dada penuh sesak antara "iya dan tidak" ini kembali menekan kedalam dadaku, semakin sesak saja aku menahannya, hingga akhirnya satu pikiran keluar dalam otak ku ketika pak tua berkerut itu mengatakan "pikir dulu, jangan gugup menjalankan pion mu". Iya otak, apakah karena otak ternyata aku menggalaukan tekanan "iya dan tidak", otak ku benar-benar seperti motor yang sedang akan kehabisan bensin saat itu, berjalan sangat pelan sambil irit bensin, namun kenapa dari perkelahian antara "iya dan tidak" ku pada 01.30 dini hari itu menghasilkan dua kata yang lebih menggalaukan lagi yaitu apakah ini "sepi atau gelap", sedangkan mereka bertiga masih tetap tertanam fokusnya pada papan kayunya seolah tak ada yang berkelahi dalam dadanya. Iya tertanam.. otak mereka sedang bekerja sehingga se olah-olah mereka seperti mesin yang menyala dan aku tak melihat perkelahian antara "iya dan tidak", Pada dada mereka bertiga.
Mereka bertiga adalah orang-orang yang sudah sangat aku kenal (dalam sapaan hari-harinya). Pemain catur satu adalah teman sebayaku yang biasa aku panggil Ahmad, dia masih senyum sepi pada pukul 01.30 ketika sang istri menelfon tepat pada pukul itu. Ahmad berucap kepada pemain lawan nya "istriku mengunci rumah dan kamarnya, tapi mari lanjutkan caturnya pak". Pemain catur kedua adalah seorang bapak-bapak, namanya pak Mamat. Seorang petugas keamanan di desa yang biasa disebut petugas linmas. Pada diri Pak Mamat juga tidak aku lihat perkelahian antara "iya dan tidak" ketika pak mamat menyahut obrolan sepi lawan caturnya yaitu ahmad tentang rumah yang dikunci oleh istrinya "ah.. kamu mad, rumah ku dikunci istriku dari jam 12 malam saja aku tenang-tenang saja, jika dikunci ya pulangnya pas subuh, atau lewat jendela.. Haha". Begitulah pak mamat mengomentari sahutan ahmad dengan sedikit tawa sepi. Senyum sepi pun berubah jadi tawa sepi yang berlangsung tidak lebih dari 20 detik. Setauku pak Mamat adalah pedagang sayur kangkung yang mulai berjualan di pasar ketika sang mentari muncul atau habis subuh, dia sudah mempunyai dua anak, buah dari pernikahannya dengan herni seorang pedagang toko kelontong di desaku. Tidak ketinggalan pria berkerut dengan kemeja batiknya, dia adalah pak slamet. Kembali lagi aku tak melihat ada perkelahian "iya dan tidak" pada pak slamet, padahal ia yang hanya menjadi sebuah penonton peperangan kayu itu harus membawa cangkul ke sawah tiap pukul 06.00. Benar, aku sangat hafal aktifitas mereka karena pak slamet dan pak mamat adalah tetanggaku. Begitu juga ahmad.Waktu semakin berlalu dan subuh hanya tinggal 120 menit dari jam sekarang yang menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Lantas apa yang bisa aku perbuat ketika mereka tidak terlihat sayup menghadapi mentari terbit dengan senyum sepi pada pukul 02.00 dinihari sedangkan aku masih saja mempertanyakan dalam dada ku apakah "iya atau tidak", apakah aku bisa menghadapi mentari hari ini dengan aktifitas vakum ku pada pukul 02.00 dinihari ini. Sontak pikiran ku kembali menunjukkan kerjanya "Ah.. aku butuh tidur mungkin" ungkap dalam otak ku.
Aku biarkan pertanyaan antara "iya dan tidak" itu dalam mata yang berusaha terpejam sementara pertanyaan dalam dada ku belum terjawab oleh otak ku. Sekejap terdengar sahutan "aku pulang dulu, besok nyankul ke sawah". Pak tua berkerut itu pamitan pada pukul 03.00 dinihari. Dadaku kembali sesak dengan mata sayup yang sedang mencoba masuk ke alam tidur. Tak tau dari mana datangnya, tak tau dari mana sumbernya tiba-tiba otak ku berfikir dan hati kecilku mengatakan "apakah benar, pak slamet sosok tua itu hanya akan tidur selama 60 menit dan bangun untuk berangkat menyangkul?". Sedangkan aku seorang mahasiswa yang mempunyai kesempatan untuk menyerap experience yang lebih banyak, dengan durasi tidur yang lebih dari 60 menit setiap malamnya malah takut menghadapi hari esok??. 5 menit setelah pukul 03.00 itu hati kecilku mengatakan sesuatu karena melihat tingkah laku pak slamet, dan akhirnya hatiku bisa mengatakan yang menurut ku bisa meredakan perkelahian didadaku ketika mata ku hampir terpejam, "iya benar, kenapa harus takut, jika aku takut berarti aku sudah tau apa yang akan terjadi, dan berarti aku melampaui kehendak Tuhan yang belum ditetapkan Nya".
Kembali teringat saat pak tua berkerut itu berpamitan pulang kerumahnya, cuaca pada saat itu sangat mendung dan gerimispun membasahi pak tua itu berjalan menuju kerumahnya. Dengan sapaan hangatnya pak tua berpamitan "saya pulang dulu mas,dek, saya mau kesawah setelah subuh soalnya bibit padi sudah di siapkan dari semalam oleh istriku". Oh .. Sepertinya saya malu dengan diri ku yang masih muda dan tidak bisa menjawab antara "iya dan tidak" dalam dadaku. Hujan pun turun deras pada pukul 03.30 dan aku tak berhasil menghapus gelap dan sepi serta tak bisa menumbuhkan keberanian melihat mentari yang tinggal 60 menit lagi muncul karena perkelahian "iya dan tidak" masih menghinggapi dalam dadaku. Tepat pukul 04.00 dengan kumandang adzan subuh, perkelahian didadaku seolah malu dan hilang ketika aku terbangun dari tidur ku yang hanya 30 menit dan segera memutuskan mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim. 10 menit aku beribadah karena setelah beribadah menunjukkan pukul 04.10, 5 menit setelahnya aku memutuskan untuk tidur. Kembali berkata dalam hati kecilku " iya benar, perkelahian antara "iya dan tidak"ku sudah hilang", hati kecilku ingin berterimakasih kepada orang-orang yang menemaniku dini hari tadi, entah kenapa ingin sekali berterimakasih, namun ketika mataku terpejam hanya 5 menit karena aku terbangun pukul 04.20. Dadaku kembali sesak dengan perkelahian "ini menjelang pagi, dan pagi menjelang siang".
Kubuka jendela dan kulihat keluar jendela nampak banyak orang sudah mulai beraktifitas. Aku menemukan perkelahian hati lagi di dadaku "aku tidur di saat mereka bangun memulai aktivitasnya, lantas kapan aku memulai aktivitasku?". Dengan nada lirih "ah .. Sangat mengatuk, selamat tidur, selamat pagi hari jumat" . Sedikit senyum dan tawa geli muncul karena sapaan ku selamat pagi ketika aku memulai untuk tidur.
0 comments:
Post a Comment